Beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan kandang adalah :
1. Jika sapi yang akan digemukkan berjumlah kurang dari 10, maka jenis kandang yang digunakan adalah kandang tunggal.
2. Jika sapi yang akan digemukkan berjumlah lebih dari 10, maka jenis kandang yang digunakan adalah kandang ganda.
3. Dalam sistem kandang tunggal, sapi ditempatkan ke dalam 1 baris atau berjajar satu dengan yang lainnya.
4. Dalam sistem kandang ganda, sapi ditempatkan dengan cara saling berhadapan atau saling membelakangi satu sama lain.
5. Lantai kandang harus terbuat dari semen dan dilapisi dengan kayu.
6. Luas kandang disesuaikan dengan jumlah sapi yang akan digemukkan.
7. Kandang sapi harus dilengkapi dengan tempat ransum, tempat minum dan juga selokan.
Supaya sapi terhindar dari segala macam bentuk penyakit, beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut adalah :
1. Membersihkan kandang setiap pagi.
2. Kotoran sapi harus selalu dibuang ditempat khusus.
3. Lantai kandang harus selalu dicuci dan dibebaskan dari genangan air.
Dalam penggemukan sapi, kandang merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan. Kalau kita salah dalam mendesain kandang maka akan dihasilkan sapi yang kurang menguntungkan seperti terganggunya kesehatan serta terhambatnya pertumbuhan berat badan.
Beberapa syarat kandang yang baik menurut Bapak Sugito dari Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Daleman Kidul Kecamatan Pakis adalah sebagai berikut :
1) Lokasi kandang harus terpisah dari Rumah Tinggal.
2) Bahan kandang agar ekonomis dengan bahan lokal, lantai cukup dengan batu kali yang disemen dengan kemiringan 5 derajat ke arah saluran pembuangan
3) Cukup ventilasi sinar dan udara.
4) Tempat makan dibuat di depan dan dibuat berbentuk melengkung agar mudah membersihkannya dari sisa-sisa makanan.
5) Bentuk kandang ada yang tunggal (satu baris) atau ganda (berhadapan atau bertolak belakang).
6) Ukuran kandang 1 x 2 m2 untuk per ekor.
Assalamu Alaikum .... Selamat datang para pengunjungQ.... silahkan liat Blog_Q ini...^_^ Smoga b'manfaat yah... SyukraN......
Jumat, 08 Oktober 2010
Rabu, 06 Oktober 2010
“ PENGKARKASAN AYAM, ITIK & KELINCI”
LAPORAN PRAKTIKUM
ABATOIR & TEKNIK PEMOTONGAN TERNAK
“ PENGKARKASAN AYAM, ITIK & KELINCI”
NAMA : KHAERIYAH NUR
STAMBUK : I 411 08 253
KELOMPOK : II (DUA)
HARI/TGL. : JUM’AT, 14.00 WITA
ASISTEN : MUAMAL HAMIDI
LABORATORIUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging dipasarkan dalam bentuk potongan-potongan tanpa tulang, baik daging segar maupun daging beku, sehingga ada jenis daging has, sandung lamur, gandik dan sebagainya. Pembagian potongan daging tersebut mengikuti aturan tertentu dan masing-masing potongan mempunyai ciri khas dan kualitas tersendiri dalam pengolahan. Misalnya, daging yang berkualitas baik seperti has dalam (lulur) cocok untuk dibuat steak tetapi kurang baik untuk dibuat dendeng karena pada proses penyayatan akan hancur.
Pemasaran hasil olahan daging dari ternak dapat tetap stabil dan kuat di pasaran karena produksi daging yang dihasilkan dapat memenuhi permintaan konsumen. Tingkat keamanan produk yang dihasilkan harus senantiasa selalu diperhatikan dan penanganannya harus baik demi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Olehnya itu, harus dilakukan penyembelihan/ pemotongan, pemeriksaan, penilaian dan penjualan ternak.
Teknik pemotongan/penyembelihan dan pengkarkasan pada unggas berbeda dengan teknik pemotongan/penyembelihan dan pengkarkasan pada ternak besar/kecil (dalam hal ini diambil kelinci sebagai perwakilannya). Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, maka diadakanlah praktikum Abatoir Teknik Pemotongan Ternak mengenai teknik pengkarkasan pada ayam broiler, ayam kampung, itik, dan kelinci, sehingga diharapkan praktikan serta mahasiswa pada umumnya dapat mengetahui teknik pengkarkasan pada masing-masing jenis ternak, serta dapat membedakannya.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan praktikum Abatoir mengenai Pengkarkasan Ayam Broiler, Ayam Kampung, Itik dan Kelinci yaitu untuk melakukan proses pemotongan dan pengkarkasan ayam, itik dan kelinci dengan benar, untuk menghitung persentase bagian karkas dan non karkas ayam, itik dan kelinci, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas, serta untuk membandingkan kualitas karkas ayam, itik dan kelinci berdasarkan persentase karkasnya.
Kegunaannya adalah agar praktikan dapat melakukan proses pemotongan dan pengkarkasan ayam, itik dan kelinci dengan benar, dapat menghitung persentase bagian karkas dan non karkas ayam, itik dan kelinci, dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas, serta dapat membandingkan kualitas karkas ayam, itik dan kelinci berdasarkan persentase karkasnya.
METODOLOGI PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum Abatoir dan Teknik Pemotongan Ternak dilaksanakan pada hari Jum’at, 12 Maret 2010, pukul 14.00 WITA sampai selesai di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau dapur, scalpel, talenan, timbangan, panci, kompor, baskom dan stopwatch.
Bahan-bahan yang digunakan adalah 1 ekor ayam broiler, 1 ekor ayam kampung, 1 ekor itik, 1 ekor kelinci, air hangat, kertas label, tissue roll, plastik gula/plastik klip, dan sabun cair.
Metode Praktek
Menimbang ayam / itik / kelinci sebelum dipotong; leher dipotong dengan memutuskan bagian arteri karotis, vena jugularis dan esophagus; ternak yang sudah mati dihadapkan/digantung ke bawah dengan posisi kepala berada di bawah agar seluruh darahnya cepat habis (keluar semua), lalu ditimbang kembali untuk mengetahui berat darahnya. Selanjutnya dilakukan stimulasi listrik pada ayam / itik / kelinci untuk mempercepat rigor mortis (dalam percobaan kali ini tidak dilakukan stimulasi listrik berhubung alatnya rusak). Setelah rigor mortis selesai, dilakukan pencabutan bulu dengan terlebih dulu ayam/ itik di celup ke dalam air dengan suhu 50 – 54o C selama 30 – 45 menit untuk ayam, dan 65 – 80o C selama 5 – 30 detik untuk itik (scalding), kemudian ditimbang untuk memperoleh berat bulu. Kemudian di keluarkan isi dalam (evisceration) lalu ditimbang dan dilakukan pengkarkasan dengan memotong kepala, kaki dan leher. Kemudian ditimbang kepala, kaki, leher dan karkasnya. Selanjutnya karkas dipotong-potong menjadi 8 – 10 bagian yang terdiri dari : 2 sayap (wings), 2 paha atas (thight), 2 paha bawah (drum stick), 2 dada (Chicken breast) dan 1 punggung (Back). Kemudian dilakukan boneless (pelepasan daging dari tulang), dipisahkan daging, tulang dan lemak lalu di timbang masing-masing bagian tersebut.
Analisa Data
Persentase Non Karkas=(Berat bagian non karkas)/(Berat hidup) x 100%
Persentase Bagian Karkas=(Berat bagian karkas)/(Berat karkas) x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan praktikum Abatoir dan Teknik Pemotongan Ternak yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase bagian karkas dan non karkas ayam dan itik
Parameter yang
diukur AB AK Itik
kg % kg % kg %
Berat hidup
Berat mati
Berat karkas
Berat darah
Berat bulu
Berat kaki
Berat kepala
Berat leher
Berat punggung
Berat isi dalam:
Jantung
Gizzard
Hati
Usus
Berat lemak
Berat bagian karkas
paha atas kiri
paha atas kanan
paha bawah kiri
paha bawah knn
sayap kiri
sayap kanan
dada kiri
dada kanan
berat daging
berat tulang
berat kulit
0,774
0,751
0,538
0,023
0,062
0,046
0,028
0,029
0,029
0,06
0,02
0,19
0,036
0,016
0,076
0,066
0,042
0,044
0,091
0,079
0,286
0,196
0,062
100
95,56
72,22
2,97
8,01
5,94
3,62
3,75
11,71
7,75
2,58
24,55
4,65
5,38
6,15
56,92
54,61
15,38
16,92
53,38
18,46
9,23
0.752
0.728
0.477
0.024
0.061
0.046
0.0427
-
0.09
0.006
0.023
0.026
0.043
0.057
0.048
0.046
0.044
0.047
0.037
0.37
0.050
0.063
0.256
0.154
100
88
65
2
6
4.7
4.28
9
2.98
3.15
4.8
1.9
8.76
8.31
0.46
8
5.84
6
13.23
14.76
54.46
29.23
11.36
1.189
1.142
0.47
0.047
0.15
0.03
0.08
0.004
0.009
0.6
0.08
0.08
0.02
0.03
0.05
0.06
0.05
0.08
0.06
0.09
0.12
0.32
0.18
0.17 100
96.67
66.67
3.3
10
20
5.33
0.26
0.9
60
8
8
2
3
5
6
5
8
6
9
12
32
18
17
Sumber : Data Hasil Praktikum Abatoir dan Teknik Pemotongan, 2008.
Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa berat hidup pada ayam broiler 0,774 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa umur ayam ini lebih dari 50 hari dan umur sangat mempengaruhi berat hidup pada ayam broiler. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1998), bahwa pada umur 50 hari ayam broiler dapat mencapai bobot hidup rata-rata 1,5 kg dan bobot badan ini sangat dipengaruhi oleh faktor umur.
Ayam kampung memiliki bobot badan 0,752 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa ayam kampung ini berumur sekitar 6,8 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2002) bahwa ayam kampung ini biasanya disukai bila mempunyai berat badan 0,8-1,3 kg yaitu umur 6 sampai dengan 8 bulan.
Itik mempunyai bobot hidup 1,372 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa umur itik di bawah 8 minggu atau bisa juga disebabkan karena faktor nutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakelay dan Bade (1998), bahwa beberapa bangsa itik dapat mencapai bobot badan 3 kg pada umur 8 minggu. Dan ditambahkan lagi oleh Soeparno (2005), bahwa faktor nutrisi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Kelinci mempunyai bobot hidup 1,189 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa umur kelinci di antara 3-7 bulan. Akan tetapi, berat hidup dari kelinci tersebut tidak mempengaruhi nilai keempukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pada kelinci jantan dan betina, konsumsi pakan dari jenis dan komposisi pakan yang sama dan berat potong atau umur yang berbeda (3-7 bulan) tidak mempengaruhi nilai keempukan daging, tetapi mempengaruhi susut masak dan daya ikat air daging.
Ayam broiler memiliki berat hidup 0,774 kg, ayam kampung 0,752 kg, itik 1,372 kg dan kelinci 1,189 kg. Ini berarti bahwa bangsa ternak sangat mempengaruhi berat hidup masing-masing ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa faktor genetik misalnya bangsa, dimana bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan karakteristiknya sendiri.
Berat mati pada ayam broiler 0,751 kg dengan persentase 97,02%, ayam kampung 0,728 dengan persentase 96,80%, itik 1,302 kg dengan persentase 94,90% dan kelinci 1,142 kg dengan persentase 96,05%. Ini berarti bahwa berat mati lebih rendah dari berat hidup dalam hal ini mengalami penurunan berat, dari ketiganya mengalami perbedaan berat mati masing-masing ternak dan terlihat itik lebih besar dari ternak lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2002) bahwa dari bentuk ayam yang hidup hingga terwujud daging yang siap masak akan terjadi kehilangan berat hidup kurang lebih 1/3 bagian. Hal ini didukung oleh Soeparno (2005) bahwa berat hidup dapat mempengaruhi berat karkas.
Berat karkas pada ayam broiler 0,538 kg dengan persentase 72,31%, ayam kampung 0,477 kg dengan persentase 63,43%, itik 0,925 kg dengan persentase 67,42% dan kelinci 0,47 kg dengan persentase 39,53%. Ini terlihat bahwa beratnya mengalami penurunan dari berat hidup dan berat mati. Dan terlihat bahwa berat karkas itik lebih besar dibanding ternak yang lain, ini berarti bahwa berat karkas dipengaruhi oleh berat hidup ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2002) bahwa berat daging yang siap masak nantinya kurang lebih 2/3 bagian dari berat karena bagian bulu, kaki, cakar, leher, kepala, jeroan dan ekor dipisah dari bagian tubuh, dan ditambahkan lagi oleh Soeparno (2005) bahwa berat hidup dapat mempengaruhi berat karkas.
Berat darah pada ayam broiler 0,023 kg dengan persentase 2,97%, ayam kampung 0,024 kg dengan persentase 3,19%, kelinci 0,070 kg dengan persentase 5,10% dan itik dengan berat 0,047 kg dengan persentase 3,95%. Dari data terlihat barat darah itik lebih tinggi dibanding ternak yang lain. Hal ini karena pada kelinci tidak termasuk unggas dan yang menyebabkan berat darahnya lebih tinggi dari yang lain yaitu karena umurnya yang sudah tua, dimana diketahui bahwa pada saat penyembelihan ternak unggas, darah yang keluar secara sempurna sekitar 4% dari berat hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pada proses penyembelihan jika darah keluar secara sempurna maka beratnya sekitar 4% dari berat hidup.
Berat bulu pada ayam broiler 0,062 kg dengan persentase 8,01%, ayam kampung 0,061 kg dengan persentase 8,11% , itik 0,155 kg dengan persentase 11,30% dan kelinci 0,086 kg dengan persentase 7,23%. Dari keempat data ini semua sesuai dengan persentase bulu, bahkan itik sangat jauh dari yang sebenarnya pada ketentuan persentase bulu. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Murtidjo (1987) bahwa persentase karkas bagian tubuh broiler yaitu pada bagian bulu yaitu sekitar 6,0 %. Hal ini disebabkan karena air panas juga ikut tertimbang, sehingga terjadi kesalahan dalam pengambilan data.
Berat kaki pada ayam broiler 0,046 kg dengan persentase 5,94%, ayam kampung 0,046 kg dengan persentase 6,12%, itik 0,03 kg dengan persentase 2,70% dan kelinci 0,046 kg dengan persentase 3,87%. Dari keempat jenis ternak tersebut diketahui bahwa ayam kampung memiliki persentase yang tertinggi pada berat kakinya. Hal ini dipengaruhi oleh berat hidup pada keempat jenis ternak tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Murtidjo (1987) yang menyatakan bahwa persentase berat kaki pada ayam broiler 4,5% dan Srigandhono (1996), bahwa berat dan persentase bagian yang dipotong seperti pada kaki yaitu 135 kg sekitar 3,38%.
Berat kepala pada ayam broiler 0,028 kg dengan persentase 3,62%, ayam kampung 0,047 kg dengan persentase 6,25%, itik 0,087 kg dengan persentase 6,34% dan kelinci 0,121 kg dengan persentase 10,18%. Dari ketiga data terlihat bahwa setiap ternak berbeda-beda tergantung bangsa dan spesiesnya (faktor genetik). Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Berat jantung untuk setiap jenis ternak berbeda-beda yaitu pada ayam broiler 0,06 kg dengan persentase 7,75%, ayam kampung 0,006 kg dengan persentase 0,80%, itik 0,013 kg dengan persentase 0,95% dan kelinci 0,09 kg dengan persentase 7,57%. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa dapat mempengaruhi proporsi dari jantung dan juga nutrisi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa nutrisi dapat mempengaruhi persentase karkas dan bangsa hanya mempengaruhi atau hanya mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap pertumbuhan relatif non karkas.
Berat gizzard pada ayam broiler 0,02 kg dengan persentase 2,58%, ayam kampung 0,023 kg dengan persentase 3,06%, itik 0,053 kg dengan persentase 3,86% dan kelinci kg dengan persentase %. Terlihat bahwa itik memiliki persentase karkas yang lebih tinggi. Berarti semakin rendah berat hidup akan meningkatkan proporsi dari gizzard. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa persentase karkas biasanya meningkat sesuai dengan peningkatan berat hidup, tetapi persentase bagian non karkas seperti kulit, darah, lambung, usus kecil dan hati menurun.
Berat hati pada ayam broiler yaitu 0,19 kg dengan persentase 24,55%, ayam kampung 0,026 kg dengan persentase 3,46%, itik 0,035 kg dengan persentase 2,55% dan kelinci 0,03 kg dengan persentase 2,52%. Pada ayam broiler persentasenya lebih tinggi dibandingkan jenis ternak lain, ini berarti bahwa semakin rendah berat hidup akan meningkatkan berat hati. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa persentase karkas meningkat sesuai dengan peningkatan berat hidup, tetapi menurunkan persentase bagian non karkas seperti pada hati.
Berat usus/ saluran pencernaan pada ayam broiler 0,036 kg dengan persentase 4,65%, pada ayam kampung 0,043 kg dengan persentase 5,72%, itik 0,070 kg dengan persentase 5,10% dan kelinci 0,295 kg dengan persentase 24,81%. Terlihat persentase yang lebih tinggi terlihat pada kelinci, hal ini berarti bahwa komposisi nutrisi dan berat hidup sangat mempengaruhi persentase berat selama pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa konsumsi nutrisi yang tinggi akan meningkatkan persentase alat pencernaan. Peningkatan berat hidup menurunkan persentase usus kecil.
Berat lemak ayam broiler 0,016 kg, dan pada itik 0,023 kg. Dari data ini terlihat bawah umur dan bobot karkas sangat mempengaruhi persentase lemak pada ayam broiler dan itik. Hal ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2002), bahwa untuk umur 8 minggu dengan bobot karkas 1,996 kg dengan persentase lemak abdominal 4,3%.
Berat paha pada ayam broiler, untuk paha atas kiri 0,076 kg dengan persentase 14,13%, paha atas kanan 0,066 dengan persentase 12,27%, untuk paha bawah kiri 0,048 kg dengan persentase 8,92%, seta paha bawah kanan 0,05 kg dengan persentase 9,29%.
Berat paha pada ayam kampung, untuk paha atas kiri 0,048 kg dengan persentase 10,06%, paha atas kanan 0,046 dengan persentase 9,64%, untuk paha bawah kiri 0,044 kg dengan persentase 9,22%, seta paha bawah kanan 0,47 kg dengan persentase 9,85%.
Berat paha pada itik, untuk paha atas kiri 0,049 kg dengan persentase 5,29%, paha atas kanan 0,044 dengan persentase 4,75%, untuk paha bawah kiri 0,055 kg dengan persentase 5,94%, seta paha bawah kanan 0,056 kg dengan persentase 6,05%.
Berat paha pada kelinci, untuk paha atas kiri 0,019 kg dengan persentase 3,83%, paha atas kanan 0,02 dengan persentase 4,26%, untuk paha bawah kiri 0,018 kg dengan persentase 12,96%, seta paha bawah kanan 0,59 kg dengan persentase 12,56%.
Keempat jenis ternak ini memiliki berat dan persentase berat paha yang berbeda-beda, ini disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan seperti umur, berat hidup, bangsa, spesies dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas.
Berat sayap kiri pada ayam broiler yaitu 0,042 kg dengan persentase 7,81 % dan sayap kanan 0,044 kg dengan persentase 8,18%. Berat sayap kiri dan sayap kanan pada ayam kampung sama yaitu 0,037 kg dengan persentase 7,76%, serta pada itik berat sayap kiri 0,070 kg dengan persentase 7,57% dan sayap kanan 0,071 kg dengan persentase 7,68%. Ketiga unggas ini memiliki berat yang berbeda-beda, ini berarti bahwa persentase berat sayap dipengaruhi oleh bangsa, spesies, umur dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Persentase berat dada kanan dan kiri pada ayam broiler yaitu 16,91% dan 14,68%, pada ayam kampung 10,48% dan 13,21%, sedangkan pada itik 14,70% dan 11,02% serta pada kelinci 30% dan 24,04%. Dari keempat jenis ternak, hanya kelinci yang mendekati nilai rata-rata yang ditentukan yaitu sekitar 30% dari bobot karkas, ini disebabkan oleh faktor umur dan berat tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa perbedaan komposisi tubuh dan karkas di antara bangsa ternak, terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan berat pada saat dewasa.
Keempat jenis ternak ini memiliki berat dan persentase berat dada yang berbeda. Ini disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan seperti umur, berat hidup, bangsa, spesies dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju perumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Sebelum dilakukan penyembelihan pada ternak sebaiknya diistirahatkan terlebih dahulu dan tidak diberlakukan pemotongan secara kasar guna memperoleh hasil pemotongan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pemotongan yang baik sebaiknya sebelum disembelih ternak diistirahatkan, tidak diperlakukan secara kasar, tidak mengalami stress dan lain-lain.
Sebelum dilakukan pencabutan bulu pada ternak unggas terlebih dahulu dicelupkan ke dalam air panas, sehingga memperoleh hasil yang baik dan mempermudah proses pencabutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa untuk mempermudah pencabutan bulu, unggas dicelupkan kedalam air panas antara 0-80oC selama waktu tertentu.
Pada proses penanganan ternak, dilakukan juga pemberian stimulasi listrik untuk mempercepat proses rigormortis dalam tegangan 40 volt. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa penanganan ternak adalah setelah pemotongan dilakukan pemberian stimulasi listrik yang dapat meningkatkan keempukan daging, menurunkan pH, daging berwarna lebih terang dan memperpendek waktu pencapaian rigormortis. Penggunaan voltasenya tidak melebihi 45 volt sehingga aman dan tidak memerlukan pelindung.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dipeoleh kesimpulan bahwa :
Komponen-komponen karkas terdiri atas paha, dada, sayap, punggung dan kulit dengan lapisan lemaknya. Selain itu juga ada komponen non karkas terdiri dari kaki, sayap, kepala dan leher. Sedangkan isi dalam meliputi usus, gizzard, hati, jantung dan lain-lain.
Kualitas karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persentase karkas diantaranya adalah bangsa, spesies, jenis kelamin dan umur.
Untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik, ternak unggas seperti angsa, ayam, itik dan kalkun sebaiknya diistirahatkan sebelum dipotong.
Pemberian stimulasi listrik setelah pemotongan berfungsi untuk meningkatkan keempukan, menurunkan pH, daging berwarna lebih terang, dan memperpendek waktu mencapai rigormortis. Penggunaan voltase tidak melebihi 45 volt sehingga aman dan tidak memerlukan alat pelindung.
Saran
Sebaiknya peralatan laboratorium misalnya alat stimulasi listrik diperbaiki agar dapat diketahui cara melakukan stimulasi listrik.
Sebaiknya praktek dilakukan di laboratorium yang lebih luas atau praktek dibagi dalam tiga gelombang agar mempermudah jalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I.K. 2002. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu gunung Budi KPP IPB.
Bogor
Anonim. 2002. Identifikasi Ayam Buras. Dinas Peternakan. Ujung Pandang
Abustam, E. 2008. Bahan Ajar Mata Kuliah Abatoir dan Teknik Pemotongan
Ternak. Fakultas Peternakan UH. Makassar
Blakely, J& Bade, D.H. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Komandoko, G. 2002. Pemeliharaan Ayam Produksi. Absolut. Yogyakarta
Martono, A. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya; Jakarta
Murtidjo, B.A. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Yogyakarta
Murtidjo, B. A. 2002. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta
Rasyaf, M. 2002. Pengololaan peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta
Rasyaf, M. 1997. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Srigandono, B. 1996. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
http://chickaholic.wordpress.com/2007/10/27/kualitas-karkas-dan-daging/
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-res-2002-ir-531jeruk&q=Hidup
ABATOIR & TEKNIK PEMOTONGAN TERNAK
“ PENGKARKASAN AYAM, ITIK & KELINCI”
NAMA : KHAERIYAH NUR
STAMBUK : I 411 08 253
KELOMPOK : II (DUA)
HARI/TGL. : JUM’AT, 14.00 WITA
ASISTEN : MUAMAL HAMIDI
LABORATORIUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging dipasarkan dalam bentuk potongan-potongan tanpa tulang, baik daging segar maupun daging beku, sehingga ada jenis daging has, sandung lamur, gandik dan sebagainya. Pembagian potongan daging tersebut mengikuti aturan tertentu dan masing-masing potongan mempunyai ciri khas dan kualitas tersendiri dalam pengolahan. Misalnya, daging yang berkualitas baik seperti has dalam (lulur) cocok untuk dibuat steak tetapi kurang baik untuk dibuat dendeng karena pada proses penyayatan akan hancur.
Pemasaran hasil olahan daging dari ternak dapat tetap stabil dan kuat di pasaran karena produksi daging yang dihasilkan dapat memenuhi permintaan konsumen. Tingkat keamanan produk yang dihasilkan harus senantiasa selalu diperhatikan dan penanganannya harus baik demi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Olehnya itu, harus dilakukan penyembelihan/ pemotongan, pemeriksaan, penilaian dan penjualan ternak.
Teknik pemotongan/penyembelihan dan pengkarkasan pada unggas berbeda dengan teknik pemotongan/penyembelihan dan pengkarkasan pada ternak besar/kecil (dalam hal ini diambil kelinci sebagai perwakilannya). Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, maka diadakanlah praktikum Abatoir Teknik Pemotongan Ternak mengenai teknik pengkarkasan pada ayam broiler, ayam kampung, itik, dan kelinci, sehingga diharapkan praktikan serta mahasiswa pada umumnya dapat mengetahui teknik pengkarkasan pada masing-masing jenis ternak, serta dapat membedakannya.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan praktikum Abatoir mengenai Pengkarkasan Ayam Broiler, Ayam Kampung, Itik dan Kelinci yaitu untuk melakukan proses pemotongan dan pengkarkasan ayam, itik dan kelinci dengan benar, untuk menghitung persentase bagian karkas dan non karkas ayam, itik dan kelinci, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas, serta untuk membandingkan kualitas karkas ayam, itik dan kelinci berdasarkan persentase karkasnya.
Kegunaannya adalah agar praktikan dapat melakukan proses pemotongan dan pengkarkasan ayam, itik dan kelinci dengan benar, dapat menghitung persentase bagian karkas dan non karkas ayam, itik dan kelinci, dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persentase karkas, serta dapat membandingkan kualitas karkas ayam, itik dan kelinci berdasarkan persentase karkasnya.
METODOLOGI PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum Abatoir dan Teknik Pemotongan Ternak dilaksanakan pada hari Jum’at, 12 Maret 2010, pukul 14.00 WITA sampai selesai di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau dapur, scalpel, talenan, timbangan, panci, kompor, baskom dan stopwatch.
Bahan-bahan yang digunakan adalah 1 ekor ayam broiler, 1 ekor ayam kampung, 1 ekor itik, 1 ekor kelinci, air hangat, kertas label, tissue roll, plastik gula/plastik klip, dan sabun cair.
Metode Praktek
Menimbang ayam / itik / kelinci sebelum dipotong; leher dipotong dengan memutuskan bagian arteri karotis, vena jugularis dan esophagus; ternak yang sudah mati dihadapkan/digantung ke bawah dengan posisi kepala berada di bawah agar seluruh darahnya cepat habis (keluar semua), lalu ditimbang kembali untuk mengetahui berat darahnya. Selanjutnya dilakukan stimulasi listrik pada ayam / itik / kelinci untuk mempercepat rigor mortis (dalam percobaan kali ini tidak dilakukan stimulasi listrik berhubung alatnya rusak). Setelah rigor mortis selesai, dilakukan pencabutan bulu dengan terlebih dulu ayam/ itik di celup ke dalam air dengan suhu 50 – 54o C selama 30 – 45 menit untuk ayam, dan 65 – 80o C selama 5 – 30 detik untuk itik (scalding), kemudian ditimbang untuk memperoleh berat bulu. Kemudian di keluarkan isi dalam (evisceration) lalu ditimbang dan dilakukan pengkarkasan dengan memotong kepala, kaki dan leher. Kemudian ditimbang kepala, kaki, leher dan karkasnya. Selanjutnya karkas dipotong-potong menjadi 8 – 10 bagian yang terdiri dari : 2 sayap (wings), 2 paha atas (thight), 2 paha bawah (drum stick), 2 dada (Chicken breast) dan 1 punggung (Back). Kemudian dilakukan boneless (pelepasan daging dari tulang), dipisahkan daging, tulang dan lemak lalu di timbang masing-masing bagian tersebut.
Analisa Data
Persentase Non Karkas=(Berat bagian non karkas)/(Berat hidup) x 100%
Persentase Bagian Karkas=(Berat bagian karkas)/(Berat karkas) x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan praktikum Abatoir dan Teknik Pemotongan Ternak yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase bagian karkas dan non karkas ayam dan itik
Parameter yang
diukur AB AK Itik
kg % kg % kg %
Berat hidup
Berat mati
Berat karkas
Berat darah
Berat bulu
Berat kaki
Berat kepala
Berat leher
Berat punggung
Berat isi dalam:
Jantung
Gizzard
Hati
Usus
Berat lemak
Berat bagian karkas
paha atas kiri
paha atas kanan
paha bawah kiri
paha bawah knn
sayap kiri
sayap kanan
dada kiri
dada kanan
berat daging
berat tulang
berat kulit
0,774
0,751
0,538
0,023
0,062
0,046
0,028
0,029
0,029
0,06
0,02
0,19
0,036
0,016
0,076
0,066
0,042
0,044
0,091
0,079
0,286
0,196
0,062
100
95,56
72,22
2,97
8,01
5,94
3,62
3,75
11,71
7,75
2,58
24,55
4,65
5,38
6,15
56,92
54,61
15,38
16,92
53,38
18,46
9,23
0.752
0.728
0.477
0.024
0.061
0.046
0.0427
-
0.09
0.006
0.023
0.026
0.043
0.057
0.048
0.046
0.044
0.047
0.037
0.37
0.050
0.063
0.256
0.154
100
88
65
2
6
4.7
4.28
9
2.98
3.15
4.8
1.9
8.76
8.31
0.46
8
5.84
6
13.23
14.76
54.46
29.23
11.36
1.189
1.142
0.47
0.047
0.15
0.03
0.08
0.004
0.009
0.6
0.08
0.08
0.02
0.03
0.05
0.06
0.05
0.08
0.06
0.09
0.12
0.32
0.18
0.17 100
96.67
66.67
3.3
10
20
5.33
0.26
0.9
60
8
8
2
3
5
6
5
8
6
9
12
32
18
17
Sumber : Data Hasil Praktikum Abatoir dan Teknik Pemotongan, 2008.
Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa berat hidup pada ayam broiler 0,774 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa umur ayam ini lebih dari 50 hari dan umur sangat mempengaruhi berat hidup pada ayam broiler. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1998), bahwa pada umur 50 hari ayam broiler dapat mencapai bobot hidup rata-rata 1,5 kg dan bobot badan ini sangat dipengaruhi oleh faktor umur.
Ayam kampung memiliki bobot badan 0,752 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa ayam kampung ini berumur sekitar 6,8 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2002) bahwa ayam kampung ini biasanya disukai bila mempunyai berat badan 0,8-1,3 kg yaitu umur 6 sampai dengan 8 bulan.
Itik mempunyai bobot hidup 1,372 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa umur itik di bawah 8 minggu atau bisa juga disebabkan karena faktor nutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakelay dan Bade (1998), bahwa beberapa bangsa itik dapat mencapai bobot badan 3 kg pada umur 8 minggu. Dan ditambahkan lagi oleh Soeparno (2005), bahwa faktor nutrisi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Kelinci mempunyai bobot hidup 1,189 kg dengan persentase 100%. Ini berarti bahwa umur kelinci di antara 3-7 bulan. Akan tetapi, berat hidup dari kelinci tersebut tidak mempengaruhi nilai keempukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pada kelinci jantan dan betina, konsumsi pakan dari jenis dan komposisi pakan yang sama dan berat potong atau umur yang berbeda (3-7 bulan) tidak mempengaruhi nilai keempukan daging, tetapi mempengaruhi susut masak dan daya ikat air daging.
Ayam broiler memiliki berat hidup 0,774 kg, ayam kampung 0,752 kg, itik 1,372 kg dan kelinci 1,189 kg. Ini berarti bahwa bangsa ternak sangat mempengaruhi berat hidup masing-masing ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa faktor genetik misalnya bangsa, dimana bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan karakteristiknya sendiri.
Berat mati pada ayam broiler 0,751 kg dengan persentase 97,02%, ayam kampung 0,728 dengan persentase 96,80%, itik 1,302 kg dengan persentase 94,90% dan kelinci 1,142 kg dengan persentase 96,05%. Ini berarti bahwa berat mati lebih rendah dari berat hidup dalam hal ini mengalami penurunan berat, dari ketiganya mengalami perbedaan berat mati masing-masing ternak dan terlihat itik lebih besar dari ternak lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2002) bahwa dari bentuk ayam yang hidup hingga terwujud daging yang siap masak akan terjadi kehilangan berat hidup kurang lebih 1/3 bagian. Hal ini didukung oleh Soeparno (2005) bahwa berat hidup dapat mempengaruhi berat karkas.
Berat karkas pada ayam broiler 0,538 kg dengan persentase 72,31%, ayam kampung 0,477 kg dengan persentase 63,43%, itik 0,925 kg dengan persentase 67,42% dan kelinci 0,47 kg dengan persentase 39,53%. Ini terlihat bahwa beratnya mengalami penurunan dari berat hidup dan berat mati. Dan terlihat bahwa berat karkas itik lebih besar dibanding ternak yang lain, ini berarti bahwa berat karkas dipengaruhi oleh berat hidup ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2002) bahwa berat daging yang siap masak nantinya kurang lebih 2/3 bagian dari berat karena bagian bulu, kaki, cakar, leher, kepala, jeroan dan ekor dipisah dari bagian tubuh, dan ditambahkan lagi oleh Soeparno (2005) bahwa berat hidup dapat mempengaruhi berat karkas.
Berat darah pada ayam broiler 0,023 kg dengan persentase 2,97%, ayam kampung 0,024 kg dengan persentase 3,19%, kelinci 0,070 kg dengan persentase 5,10% dan itik dengan berat 0,047 kg dengan persentase 3,95%. Dari data terlihat barat darah itik lebih tinggi dibanding ternak yang lain. Hal ini karena pada kelinci tidak termasuk unggas dan yang menyebabkan berat darahnya lebih tinggi dari yang lain yaitu karena umurnya yang sudah tua, dimana diketahui bahwa pada saat penyembelihan ternak unggas, darah yang keluar secara sempurna sekitar 4% dari berat hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pada proses penyembelihan jika darah keluar secara sempurna maka beratnya sekitar 4% dari berat hidup.
Berat bulu pada ayam broiler 0,062 kg dengan persentase 8,01%, ayam kampung 0,061 kg dengan persentase 8,11% , itik 0,155 kg dengan persentase 11,30% dan kelinci 0,086 kg dengan persentase 7,23%. Dari keempat data ini semua sesuai dengan persentase bulu, bahkan itik sangat jauh dari yang sebenarnya pada ketentuan persentase bulu. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Murtidjo (1987) bahwa persentase karkas bagian tubuh broiler yaitu pada bagian bulu yaitu sekitar 6,0 %. Hal ini disebabkan karena air panas juga ikut tertimbang, sehingga terjadi kesalahan dalam pengambilan data.
Berat kaki pada ayam broiler 0,046 kg dengan persentase 5,94%, ayam kampung 0,046 kg dengan persentase 6,12%, itik 0,03 kg dengan persentase 2,70% dan kelinci 0,046 kg dengan persentase 3,87%. Dari keempat jenis ternak tersebut diketahui bahwa ayam kampung memiliki persentase yang tertinggi pada berat kakinya. Hal ini dipengaruhi oleh berat hidup pada keempat jenis ternak tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Murtidjo (1987) yang menyatakan bahwa persentase berat kaki pada ayam broiler 4,5% dan Srigandhono (1996), bahwa berat dan persentase bagian yang dipotong seperti pada kaki yaitu 135 kg sekitar 3,38%.
Berat kepala pada ayam broiler 0,028 kg dengan persentase 3,62%, ayam kampung 0,047 kg dengan persentase 6,25%, itik 0,087 kg dengan persentase 6,34% dan kelinci 0,121 kg dengan persentase 10,18%. Dari ketiga data terlihat bahwa setiap ternak berbeda-beda tergantung bangsa dan spesiesnya (faktor genetik). Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Berat jantung untuk setiap jenis ternak berbeda-beda yaitu pada ayam broiler 0,06 kg dengan persentase 7,75%, ayam kampung 0,006 kg dengan persentase 0,80%, itik 0,013 kg dengan persentase 0,95% dan kelinci 0,09 kg dengan persentase 7,57%. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa dapat mempengaruhi proporsi dari jantung dan juga nutrisi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa nutrisi dapat mempengaruhi persentase karkas dan bangsa hanya mempengaruhi atau hanya mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap pertumbuhan relatif non karkas.
Berat gizzard pada ayam broiler 0,02 kg dengan persentase 2,58%, ayam kampung 0,023 kg dengan persentase 3,06%, itik 0,053 kg dengan persentase 3,86% dan kelinci kg dengan persentase %. Terlihat bahwa itik memiliki persentase karkas yang lebih tinggi. Berarti semakin rendah berat hidup akan meningkatkan proporsi dari gizzard. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa persentase karkas biasanya meningkat sesuai dengan peningkatan berat hidup, tetapi persentase bagian non karkas seperti kulit, darah, lambung, usus kecil dan hati menurun.
Berat hati pada ayam broiler yaitu 0,19 kg dengan persentase 24,55%, ayam kampung 0,026 kg dengan persentase 3,46%, itik 0,035 kg dengan persentase 2,55% dan kelinci 0,03 kg dengan persentase 2,52%. Pada ayam broiler persentasenya lebih tinggi dibandingkan jenis ternak lain, ini berarti bahwa semakin rendah berat hidup akan meningkatkan berat hati. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa persentase karkas meningkat sesuai dengan peningkatan berat hidup, tetapi menurunkan persentase bagian non karkas seperti pada hati.
Berat usus/ saluran pencernaan pada ayam broiler 0,036 kg dengan persentase 4,65%, pada ayam kampung 0,043 kg dengan persentase 5,72%, itik 0,070 kg dengan persentase 5,10% dan kelinci 0,295 kg dengan persentase 24,81%. Terlihat persentase yang lebih tinggi terlihat pada kelinci, hal ini berarti bahwa komposisi nutrisi dan berat hidup sangat mempengaruhi persentase berat selama pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa konsumsi nutrisi yang tinggi akan meningkatkan persentase alat pencernaan. Peningkatan berat hidup menurunkan persentase usus kecil.
Berat lemak ayam broiler 0,016 kg, dan pada itik 0,023 kg. Dari data ini terlihat bawah umur dan bobot karkas sangat mempengaruhi persentase lemak pada ayam broiler dan itik. Hal ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2002), bahwa untuk umur 8 minggu dengan bobot karkas 1,996 kg dengan persentase lemak abdominal 4,3%.
Berat paha pada ayam broiler, untuk paha atas kiri 0,076 kg dengan persentase 14,13%, paha atas kanan 0,066 dengan persentase 12,27%, untuk paha bawah kiri 0,048 kg dengan persentase 8,92%, seta paha bawah kanan 0,05 kg dengan persentase 9,29%.
Berat paha pada ayam kampung, untuk paha atas kiri 0,048 kg dengan persentase 10,06%, paha atas kanan 0,046 dengan persentase 9,64%, untuk paha bawah kiri 0,044 kg dengan persentase 9,22%, seta paha bawah kanan 0,47 kg dengan persentase 9,85%.
Berat paha pada itik, untuk paha atas kiri 0,049 kg dengan persentase 5,29%, paha atas kanan 0,044 dengan persentase 4,75%, untuk paha bawah kiri 0,055 kg dengan persentase 5,94%, seta paha bawah kanan 0,056 kg dengan persentase 6,05%.
Berat paha pada kelinci, untuk paha atas kiri 0,019 kg dengan persentase 3,83%, paha atas kanan 0,02 dengan persentase 4,26%, untuk paha bawah kiri 0,018 kg dengan persentase 12,96%, seta paha bawah kanan 0,59 kg dengan persentase 12,56%.
Keempat jenis ternak ini memiliki berat dan persentase berat paha yang berbeda-beda, ini disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan seperti umur, berat hidup, bangsa, spesies dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas.
Berat sayap kiri pada ayam broiler yaitu 0,042 kg dengan persentase 7,81 % dan sayap kanan 0,044 kg dengan persentase 8,18%. Berat sayap kiri dan sayap kanan pada ayam kampung sama yaitu 0,037 kg dengan persentase 7,76%, serta pada itik berat sayap kiri 0,070 kg dengan persentase 7,57% dan sayap kanan 0,071 kg dengan persentase 7,68%. Ketiga unggas ini memiliki berat yang berbeda-beda, ini berarti bahwa persentase berat sayap dipengaruhi oleh bangsa, spesies, umur dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Persentase berat dada kanan dan kiri pada ayam broiler yaitu 16,91% dan 14,68%, pada ayam kampung 10,48% dan 13,21%, sedangkan pada itik 14,70% dan 11,02% serta pada kelinci 30% dan 24,04%. Dari keempat jenis ternak, hanya kelinci yang mendekati nilai rata-rata yang ditentukan yaitu sekitar 30% dari bobot karkas, ini disebabkan oleh faktor umur dan berat tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa perbedaan komposisi tubuh dan karkas di antara bangsa ternak, terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan berat pada saat dewasa.
Keempat jenis ternak ini memiliki berat dan persentase berat dada yang berbeda. Ini disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan seperti umur, berat hidup, bangsa, spesies dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju perumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat.
Sebelum dilakukan penyembelihan pada ternak sebaiknya diistirahatkan terlebih dahulu dan tidak diberlakukan pemotongan secara kasar guna memperoleh hasil pemotongan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pemotongan yang baik sebaiknya sebelum disembelih ternak diistirahatkan, tidak diperlakukan secara kasar, tidak mengalami stress dan lain-lain.
Sebelum dilakukan pencabutan bulu pada ternak unggas terlebih dahulu dicelupkan ke dalam air panas, sehingga memperoleh hasil yang baik dan mempermudah proses pencabutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa untuk mempermudah pencabutan bulu, unggas dicelupkan kedalam air panas antara 0-80oC selama waktu tertentu.
Pada proses penanganan ternak, dilakukan juga pemberian stimulasi listrik untuk mempercepat proses rigormortis dalam tegangan 40 volt. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa penanganan ternak adalah setelah pemotongan dilakukan pemberian stimulasi listrik yang dapat meningkatkan keempukan daging, menurunkan pH, daging berwarna lebih terang dan memperpendek waktu pencapaian rigormortis. Penggunaan voltasenya tidak melebihi 45 volt sehingga aman dan tidak memerlukan pelindung.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dipeoleh kesimpulan bahwa :
Komponen-komponen karkas terdiri atas paha, dada, sayap, punggung dan kulit dengan lapisan lemaknya. Selain itu juga ada komponen non karkas terdiri dari kaki, sayap, kepala dan leher. Sedangkan isi dalam meliputi usus, gizzard, hati, jantung dan lain-lain.
Kualitas karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persentase karkas diantaranya adalah bangsa, spesies, jenis kelamin dan umur.
Untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik, ternak unggas seperti angsa, ayam, itik dan kalkun sebaiknya diistirahatkan sebelum dipotong.
Pemberian stimulasi listrik setelah pemotongan berfungsi untuk meningkatkan keempukan, menurunkan pH, daging berwarna lebih terang, dan memperpendek waktu mencapai rigormortis. Penggunaan voltase tidak melebihi 45 volt sehingga aman dan tidak memerlukan alat pelindung.
Saran
Sebaiknya peralatan laboratorium misalnya alat stimulasi listrik diperbaiki agar dapat diketahui cara melakukan stimulasi listrik.
Sebaiknya praktek dilakukan di laboratorium yang lebih luas atau praktek dibagi dalam tiga gelombang agar mempermudah jalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I.K. 2002. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu gunung Budi KPP IPB.
Bogor
Anonim. 2002. Identifikasi Ayam Buras. Dinas Peternakan. Ujung Pandang
Abustam, E. 2008. Bahan Ajar Mata Kuliah Abatoir dan Teknik Pemotongan
Ternak. Fakultas Peternakan UH. Makassar
Blakely, J& Bade, D.H. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Komandoko, G. 2002. Pemeliharaan Ayam Produksi. Absolut. Yogyakarta
Martono, A. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya; Jakarta
Murtidjo, B.A. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Yogyakarta
Murtidjo, B. A. 2002. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta
Rasyaf, M. 2002. Pengololaan peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta
Rasyaf, M. 1997. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Srigandono, B. 1996. Produksi Unggas Air. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
http://chickaholic.wordpress.com/2007/10/27/kualitas-karkas-dan-daging/
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-res-2002-ir-531jeruk&q=Hidup
Jumat, 26 Maret 2010
MAKALAH,
DOSEN :
“MANAJEMEN TERNAK PERAH”
NAMA : KHAERIYAH NUR
STAMBUK : I 411 08 253
PRODI : TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2010
PEMBAHASAN
A. Feedlot
Feedlot merupakan usaha pemeliharaan dan penggemukan ternak yang dilakukan secara intensif dengan waktu tertentu yang telah ditetapkan, misalkan 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 9 bulan.
Pada feedlot sering dilakukan rekayasa pakan untuk mendapatkan pakan dengan kualitas nutrisi yang baik tapi bernilai ekonomis, sehingga bobot potong yang tinggi dan kualitas karkas yang baik dapat tercapai.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan teknologi Feedlot yaitu :
1. Lahan yang dibutuhkan untuk budidaya relatif tidak sebanyak biasanya, karena sudah diprogram dengan lahan tertentu untuk jumlah ternak tertentu dan dalam jangka waktu tertentu ternak tersebut diganti dengan ternak bakalan yang baru.
2. Manajemen tata laksana pemeliharaannya juga relatif lebih mudah dan lebih sederhana, sehingga kita dapat dengan mudah melakukan pengawasan terhadap aktivitas usaha ternak.
3. Limbah yang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah, dapat dimanfaatkan seperti untuk biogas dan pupuk kandang, sehingga memberikan kontribusi pendapatan pada usaha budidaya ternak.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam feedlot ini, yaitu
1. Bahan pakan harus tersedia secara melimpah dan kontinyu,
2. Bakalan tersedia dan kontinyu,
3. Ketersediaan modal,
4. Kesehatan ternak,
5. Memiliki kemampuan analisis pasar dan penjualan ternak di pasar.
B. Kondisi Peternakan Dekade 2010
Departemen Pertanian menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada tahun 2014. Hal ini disampaikan Menteri Pertanian Suswono dalam Seminar Nasional Pengembangan Ternak Potong untuk Mewujudkan Program Kecukupan atau Swasembada Daging di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (7/11), upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain itu, juga memanfaatkan lahan-lahan yang masih potensial digunakan untuk usaha peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun ke depan.
”Dengan berbagai upaya ini, populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6 juta ekor pada tahun 2014,” kata Suswono. Program swasembada daging sapi telah ditargetkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2005, kemudian direvisi menjadi tahun 2010. Selama periode ini, Indonesia masih mengimpor 40 persen dari total kebutuhan daging sapi yang ada pada tahun 2009 mencapai 322,1 ribu ton. Meskipun populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga tahun 2009 meningkat sebanyak 4,4 persen per tahun, populasi sapi potong dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. Dari berbagai kerja sama, baik dalam maupun luar negeri, Departemen Pertanian menargetkan hasil sebanyak 50.000 ekor sapi dalam lima tahun mendatang. Di bidang pemanfaatan lahan potensial, integrasi perkebunan sawit dengan peternakan sapi diproyeksikan dapat menghasilkan 50.000 sapi dalam lima tahun.
C. Komposisi Air Susu dari Berbagai Jenis Ternak dan Manusia
Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan, yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain.
Sebagai bahan makanan/minuman susu mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh seperti Kalsium, Phosphor, Vitamin A, Vitamin B dan Riboflavin yang tinggi.
Komposisinya yang mudah dicerna dengan kandungan protein, mineral dan vitamin yang tinggi, menjadikan susu sebagai sumber bahan makanan yang fleksibel yang dapat diatur kadar lemaknya, sehingga dapat memenuhi keinginan dan selera konsumen. Susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan.
Susu yang baik apabila mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikrobia pathogen, bersih yaitu tidak mengandung debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, dan tidak dipalsukan. Komponen-komponen susu yang terpenting adalah protein dan lemak. Kandungan protein susu berkisar antara 3-5 % sedangkan kandungan lemak berkisar antara 3–8%. Kandungan energi adalah 65 kkal, dan pH susu adalah 6,7. Komposisi air susu rata-rata adalah sebagai berikut : Air (87,90%); Kasein(2,70%); Lemak (3,45%); Bahan kering (12,10%); Albumin(0,50%); Protein (3,20%); Bahan Kering Laktosa (4,60%); Vitamin, enzim, gas (0,85 %). Dalam susu juga terdapat komponen-komponen lain di antaranya :
Tabel Komposisi Susu Sapi, Kambing dan Kerbau
Spesies | Air | Lemak | Protein | Laktosa | Abu |
Sapi Kambing Kerbau | 86,10 88,20 83,10 | 3,40 4,00 7,40 | 3,20 3,40 3,80 | 4,60 3,60 4,90 | 0,74 0,78 0,78 |
Protein Susu
Kadar protein di dalam air susu rata-rata 3.20% yang terdiri dari: 2.70% casein (bahan keju), dan 0.50% albumen. Berarti 26.50% dari bahan kering air susu adalah protein. Didalam air susu juga terdapat globulin dalam jumlah sedikit. Protein di dalam air susu juga merupakan penentu kualitas air susu sebagai bahan konsumsi. Albumin ditemukan 5 g/kg air susu, dalam keadaan larut. Di dalam pembentukan keju, albumin memisah dalam bentuk whey. Beberapa hari setelah induk sapi melahirkan, kandungan albumin sangat tinggi pada air susu dan normal setelah 7 hari. Pada suhu 64° C albumin mulai menjadi padat, sifat ini identik dengan sifat protein pada telur. Akan tetapi karena kadar albumin yang sedikit maka pada pasteurisasi tidak dapat ditemukan, bahkan pada pemasakan yang dapat dilihat hanya merupakan titik-titik halus pada dinding dan dasar panci.
Lemak Susu
Lemak tersusun dari trigliresida yang merupakan gabungan gliserol dan asam-asam lemak. Dalam lemak susu terdapat 60-75% lemak yang bersifat jenuh, 25-30% lemak yang bersifat tak jenuh dan sekitar 4% merupakan asam lemak polyunsaturated. Komponen mikro lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, α-tokoferol (vitamin E), karoten, serta vitamin A dan D .
Laktosa
Laktosa adalah bentuk karbohidrat yang terdapat didalam air susu. Bentuk ini tidak terdapat dalam bahan-bahan makanan yang lain. Kadar laktosa di dalam air susu adalh 4.60% dan ditemukan dalam keadaan larut. Laktosa terbentuk dari dua komponene gula yaitu glukosa dan galaktosa. Sifat air susu yang sedikit manis ditentukan oleh laktosa. Kadar laktosa dalam air susu dapat dirusak oleh beberapa Janis kuman pembentuk asam susu. Pemberian laktosa atau susu dapat menyebabkan mencret atau gangguan-gangguan perut bagi orang yang tidak tahan terhadap laktosa. Hal ini disebabkan kurangnya enzim lactase dalam mukosa usus.
Struktur laktosa
Vitamin
Kadar vitamin di dalam air susu tergantung dari jenis makanan yang diperoleh ternak sapi dan waktu laktasinya. Vitamin diukur dengan satuan Internasional Units (UI) dan mg. vitamin yang terdapat di dalam lemak A,D,E,K, dan vitamin yang larut di dalam air susu, tergolong vitamin B komplek, vitamin C, vitamin A, provitamin A dan vitamin D. Vitamin yang larut di dalam air susu yang terpenting adalah vitamin B1, B2, asam nikotinat dan asam pantotenat. Bila air susu dipanaskan / dimasak, dipasteurisasi atau disterilisasi maka 10-30% vitamin B1 akan hilang, vitamin C akan hilang 20-60%.
Karbohidrat
Molekul karbohidrat terdiri atas atom-atom karbon, hidrogen dan oksigen. Jumlah atom hidrogen dan oksigen merupakan perbandingan 2 : 1 seperti pada molekul air. Sebagai contoh molekul glukosa mempunyai rumus kimia C6H12O6, sedangkan rumus sukrosa adalah C12H22O11. Pada glukosa tampak bahwa jumlah atom hidrogen berbanding jumlah atom oksigen ialah 12:6 atau 2:1, sedangkan pada sukrosa 22:11 atau 2:1. Dengan demikian dahulu orang berkesimpulan adanya air dalarn karbohidrat. Karena haI inilah maka dipakai kata karbohidrat, Yang berasal dari “karbon”dan. “hidrat” atau air. alaupun pada kenyataannya senyawa karbohidrat tidak mengandung molekul air, narnun kata karbohidrat tetap digunakan di samping nama lain yaitu sakarida.
D. Ig A, Ig G, Ig M
1. Antibodi A (Ig A)
Antibodi A (Immunoglobulin A, IgA) adalah antibodi yang memainkan peran penting dalam imunitas mukosis (mucosal immune). IgA banyak ditemukan pada bagian sekresi tubuh (liur, mukus, air mata, kolostrum dan susu) sebagai sIgA (secretory IgA) dalam perlindungan permukaan organ tubuh yang terpapar dengan mencegah penempelan bakteri dan virus ke membran mukosa. Kontribusi fragmen konstan sIgA dengan ikatan komponen mukus memungkinkan pengikatan mikroba. Walaupun IgA mempunyai rasio serum 6% dengan waktu paruh sekitar 6 hari dan 2 subtipe yaitu IgA1 dan IgA2, sIgA adalah antibodi yang paling banyak diproduksi oleh tubuh melalui sistem mukosis, terutama pada MALT (mucosal-associated lymphoid tissues), dari pada akumulasi jumlah immunoglobulin seluruh kelas antibodi, sekitar 3 hingga 5 gram tersekresi kedalam lumen usus setiap hari.
2. Antibodi G (Ig G)
Illustrasi dari antibodi IgG, dua rantai berat terlihat dalam warna merah (bawah), dan dua rantai ringan diwarnai kuning (atas).
Antibodi G (en:Immunoglobulin G, IgG) adalah antibodi monomeris yang terbentuk dari dua rantai berat γ dan rantai ringan, dan mempunyai dua fragmen antigen-binding. Populasi IgG paling tinggi dalam tubuh dan terdistribusi cukup merata di dalam darah dan cairan jaringan (tissue liquid) dengan rasio serum sekitar 75% pada manusia dan waktu paruh 7 hingga 23 hari bergantung pada sub-tipe. Molekul IgG dibentuk (synthesized) dan diedarkankan (en:secreted) oleh sel plasma B dalam 4 sub-tipe IgG1, IgG2, IgG3, IgG4.
IgG adalah antibodi pertama yang terlibat dalam respon imunitas lanjutan (en:secondary immune response). Keberadaan IgG tertentu pada umumnya diartikan sebagai puncak respon antibodi terhadap antigen.
IgG dapat mengikat beragam patogen, seperti virus, bakteri, fungi dengan dua rantai epitop (epitope) dan melindungi tubuh dengan cara agglutination dan immobilization, aktivasi komplemen (classical pathway) menggunakan fragmen konstan, mengikat macrophage dan neutrophils dalam opsonization melawan fagositosis (phagocytosis), dan netralisasi toksin. IgG juga memainkan peran penting dalam mengikat NK cells pada ADCC (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity). IgG juga dihubungkan dengan Hipersensitivitas tipe II dan tipe III.
3. Antibodi M
Antibodi M (Immunoglobulin M/IgM, macroglobulin) adalah antibodi dasar yang berada pada plasma B. Dengan rasio serum 13%, IgM merupakan antibodi dengan ukuran paling besar, berbentuk pentameris 10 area epitop pengikat, dan teredar segera setelah tubuh terpapar antigen sebagai respon imunitas awal (primary immune response) pada rentang waktu paruh sekitar 5 hari. Bentuk monomeris dari IgM dapat ditemukan pada permukaan limfosit-B dan reseptor sel-B.
IgM adalah antibodi pertama yang tercetus pada 20 minggu pertama masa janin kehidupan seorang manusia dan berkembang secara fitogenetik (phylogenetic). Fragmen konstan IgM adalah bagian yang menggerakkan classical complement pathway.
Pada serum normal, IgM sering dijumpai mengikat antigen tertentu, meski tidak terdapat imunisasi sebelumnya. Oleh sebab itu IgM sering disebut sebagai "antibodi alami" (natural antibody). Hal ini kemungkinan memang disebabkan karena avidity Igm yang tinggi, sehingga dapat mendeteksi dan mengikat antigen kurang reaktif yang sering dijumpai. Sebagai contoh, IgM yang mengikat sel darah merah yang tercemar antigen A dan B dimungkinkan sebagai akibat dari paparan IgM terhadap substansi A dan B yang terdapat pada bakteri pada awal proses fitogenik. IgM juga bertanggungjawab terhadap penggumpalan sel darah merah (clamping) setelah transfusi darah pada saat sel darah merah donor tidak sesuai dengan tipe sel darah merah penerima.
E. Pedet & Perlunya Pemberian Kolostrum
Pedet adalah anak sapi yang baru lahir hingga umur 8 bulan. Pedet yang baru lahir membutuhkan perawatan khusus, ketelitian, kecermatan dan ketekunan dibandingkan dengan pemeliharaan sapi dewasa. Pemeliharaan pedet mulai dari lahir hingga disapih merupakan bagian penting dalam kelangsungan suatu usaha peternakan sapi perah. Kesalahan dalam penanganan dan pemeliharaan pada pedet muda dengan umur 0-3 minggu dapat menyebabkan pedet mati lemas saat lahir, lemah, infeksi dan sulit dibesarkan.
Manajemen pemeliharaan pedet yang optimal sejak lahir sangat diperlukan untuk memperoleh sapi yang mempunyai produksi dan produktifitas yang tinggi yang siap menggantikan sapi yang sudah tidak berproduksi lagi, baik sebagai induk maupun pemacek. Pemeliharaan pedet mulai dari penanganan kelahiran, pemberian identitas, pola pemberian pakan, pemantauan terhadap pertumbuhan dan pertambahan bobot badan, pencegahan dan penanganan terhadap penyakit, serta kebersihan dan fasilitas kandang hingga pedet berumur 8 bulan, sangat mempengaruhi keberhasilan tercapainya pedet sebagai calon bibit unggul pada usaha ternak perah.
Dengan penanganan dan perawatan yang tepat akan dapat mengoptimalakan performan pedet yang nantinya benar-benar siap menjadi replacement stock menggantikan sapi yang sudah tidak berproduksi lagi. Menurut Muljana (1996), pedet yang harus dipelihara terus setiap tahunnya untuk peremajaan adalah 30% dari jumlah populasi induk.
Perawatan Pedet
Untuk menghasilkan anak sapi yang cukup kuat salah satu caranya induk sapi yang bunting sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum beranak sudah dikeringkan dan induk sapi tersebut diberi pakan istimewa dan cukup baik kualitas dan kuantitasnya. Setelah pedet dilahirkan, merupakan periode yang sangat kritis. Oleh karena itu anak sapi perlu mendapat perhatian yang sebaik-baiknya (Muljana, 1982).
Manajemen pemeliharaan pedet merupakan salah satu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Untuk itu maka sangat diperlukan penanganan yang benar mulai dari sapi itu dilahirkan sampai mencapai usia sapi dara. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya :
1. Penanganan Pedet pada saat lahir
Penanganan Pedet pada saat lahir dilakukan apabila induk tidak bisa berperan secara optimal. Hal ini menjaga agar sifat alami atau tingkahlaku ternak tidak terusak. Bantuan dapat diberikan dengan langkah-langkah sesuai tingkah laku ternak tersebut. Pertama membersihkan semua lendir yang ada dimulut dan hidung demikian pula yang ada dalam tubuhnya, menggunakan handuk (kain) yang bersih. Buat pernapasan buatan bila pedet tidak bisa bernapas. Kemudian potong tali pusarnya sepanjang 10 cm dan diolesi dengan iodin untuk mencegah infeksi lalu diikat. Berikan jerami kering sebagai alas. Dan jangan lupa beri colostrum secepatnya paling lambat 30 menit setelah lahir (Imron, 2009).
2. Pemberian Pakan
Pemberian Pakan Anak Sapi / Pedet diharapkan semaksimal mungkin mendapatkan asupan nutrisi yang optimal. Nutrisi yang baik pada saat masih pedet akan memberikan nilai positif saat lepas sapih, dara dan siap jadi bibit yang prima. Sehingga produktivitas yang optimal dapat dicapai.
a. Proses Pencernaan Pada Sapi Pedet.
Menurut Imron 2009, untuk dapat melaksanakan program pemberian pakan pada pedet, ada baiknya kita harus memahami dulu susunan dan perkembangan alat pencernaan anak sapi. Perkembangan alat pencernaan ini yang akan menuntun bagaimana langkah-langkah pemberian pakan yang benar. Sejak lahir anak sapi telah mempunyai 4 bagian perut, yaitu : Rumen (perut handuk), Retikulum (perut jala), Omasum (perut buku) dan Abomasum (perut sejati). Pada awalnya saat sapi itu lahir hanya abomasum yang telah berfungsi, kapasitas abomasum sekitar 60 % dan menjadi 8 % bila nantinya telah dewasa.
Sebaliknya untuk rumen semula 25 % berubah menjadi 80 % saat dewasa. Waktu kecil pedet hanya akan mengkonsumsi air susu sedikit demi sedikit dan secara bertahap anak sapi akan mengkonsumsi calf starter (konsentrat untuk awal pertumbuhan yang padat akan gizi, rendah serat kasar dan bertekstur lembut) dan selanjutnya belajar menkonsumsi rumput.
b. Jenis-jenis Bahan Pakan Anak Sapi / Pedet
Jenis bahan pakan untuk anak sapi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
1. Pakan cair/likuid : kolostrum, air susu normal, milk replacer
2. Pakan padat/kering : konsentrat pemula (calf starter) dan hijauan.
1. Pakan cair/likuid : kolostrum, air susu normal, milk replacer
a) Kolostrum
Kolostrum adalah air susu yang dikeluarkan dari ambing sapi yang baru melahirkan, berwarna kekunig-kuningan dan lebih kental dari air susu normal. Komposisi kolostrum :
Ø Kolostrum lebih banyak mengandung energi, 6X lebih banyak kandungan proteinnya, 100X untuk vitamin A dan 3X lebih kaya akan mineral dibanding air susu normal
Ø Mengandung enzym yang mampu menggertak sel-sel dalam alat pencernaan pedet supaya secepatnya dapat berfungsi (mengeluarkan enzim pencernaan).
Ø Kolostrum mengandung sedikit laktosa sehingga mengurangi resiko diare. Mengandung inhibitor trypsin, sehingga antibodi dapat diserap dalam bentuk protein. Kolostrum kaya akan zat antibodi yang berfungsi melindungi pedet yang baru lahir dari penyakit infeksi.
Ø Kolostrum dapat juga menghambat perkembangan bakteri E. coli dalam usus pedet (karena mengandung laktoferin) dalam waktu 24 jam pertama.
b) Mutu Kolostrum
Warna dan kekentalannya menunjukan kualitasnya (kental dan lebih kekuning-kuningan akan lebih baik, karena kaya akan imonoglobulin). Kualitas kolostrum akan rendah apabila : Lama kering induk bunting, kurang dari 3 – 4 minggu, sapi terus diperah sampai saat melahirkan. Sapi induk terlalu muda, ambing dan puting susu tidak segera dibersihkan saat melahirkan maupun saat akan diperah (Soetarno, 2003).
c) Milk Replacer atau Pengganti Air Susu (PAS)
Pada fase pemberian susu untuk pedet, air susu sapi asli dapat diganti menggunakan Milk Replacer/PAS. Milk Replacer yang baik kualitasnya dapat memberikan pertambahan bobot badan yang sama dengan kalau diberi air susu sampai umur 4 minggu. Namun kadang-kadang pemberian milk replacer mengakibatkan sapi lambat dewasa kelamin dan sering mengakibatkan pedet kegemukan. Milk replacer yang baik dibuat dari bahan baku yang berasal dari produk air susu yang baik seperti ; susu skim, whey, lemak susu dan serealia dalam jumlah terbatas. Milk replacer sebaiknya diberikan pada saat pedet berusia antara 3 – 5 minggu dan jangan diberikan kepada pedet yang berusia kurang dari 2 minggu. Pedet yang berusia kurang dari 2 minggu belum bisa mencerna pati-patian dan protein selain casein (protein susu).
2. Pakan padat/kering : konsentrat pemula (calf starter) dan hijauan.
Manajemen Pemberian Pakan Awal/Pemula (Calf Starter) Pemberian calf starter dapat dimulai sejak pedet 2 – 3 minggu (fase pengenalan). Pemberian calf starter ditujukan untuk membiasakan pedet dapat mengkonsumsi pakan padat dan dapat mempercepat proses penyapihan hingga usia 4 minggu. Tetapi untuk sapi – sapi calon bibit dan donor penyapihan dini kurang diharapkan. Penyapihan (penghentian pemberian air susu) dapat dilakukan apabila pedet telah mampu mengkonsumsi konsetrat calf starter 0.5 – 0.7 kg kg/ekor/hari atau pada bobot pedet 60 kg atau sekitar umur 1 – 2 bulan.
Tolak ukur kualitas calf starter yang baik adalah dapat memberikan pertambahan bobot badan 0.5 kg/hari dalam kurun waktu 8 minggu. Kualitas calf starter yang dipersyaratkan : Protein Kasar 18 – 20%, TDN 75 – 80%, Ca dan P, 2 banding 1, kondisi segar, palatable, craked (Imron, 2009).
Manajemen Pemberian Pakan Hijauan Pemberian hijauan kepada pedet yang masih menyusu, hanya untuk diperkenalkan saja guna merangsang pertumbuhan rumen. Hijauan tersebut sebenarnya belum dapat dicerna secara sempurna dan belum memberi andil dalam memasok zat makanan. Perkenalkan pemberian hay/rumput sejak pedet berumur 2 & 3 minggu.
Ì Berikan rumput yang berkualitas baik yang bertekstur halus.
Ì Jangan memberikan silase pada pedet (sering berjamur), selain itu pedet belum bisa memanfaatkan asam dan NPN yang banyak terdapat dalam silase.
Ì Konsumsi hijauan harus mulai banyak setelah memasuki fase penyapihan.
Sistem Perkandangan
Pedet yang lahir dalam kondisi sehat serta induk sehat di satukan dalam kandang bersama dengan induk, diberi sekat agar pergerakan pedet terbatas. Diharapkan pedet mendapat susu secara ad libitum, sehingga nutrisinya terpenuhi. Selain itu pedet dapat mulai mengenal pakan yang dikonsumsi induk yang kelak akan menjadi pakan hariannya pedet tersebut setelah lepas sapih.
Perlakuan ini haruslah dalam pengawasan yang baik sehingga dapat mengurangi kecelakaan baik pada pedet atau induk. Bagi pedet yang sakit, pedet dipisah dari induk dan dalam perawatan sampai sembuh sehingga pedet siap kembali di satukan dengan induk atau induk lain yang masih menyusui. Selama pedet dalam perawatan susu diberikan oleh peternak sesuai dengan umur dan berat badan (Imron, 2009).
Menurut Soetarno 2003, selama 3-4 hari setelah lahir pedet biasaanya belumdipisahkan dari induknya, agar dapar memperolah kolostrum sepenuhnya. Setelah itu, pedet di tempatkan di dalam kandang pembesaran, baik berupa kandang observasi (observation pens), kandang individu (individual pens), maupun kandang kelompok (group pens). Di sini pedet mulai dilatih untuk mengkonsumsi suplemen makan.
Penanganan Penyakit
1. Diare (Mencret)
Penyakit yang sering ditemui pada pedet adalah diare. Diare pedet masih cukup menakutkan karena seringkali berakibat kematian. Menurut Kurniawan 2009, jika pedet kehilangan lebih dari 15% cairan tubuhnya, dia akan mengalami stress yang luar biasa dan mengakibatkan kematian. Dari sekian banyak sebab diare pada pedet, penanganan saat lahir, tidak adanya desinfeksi pusar dan sanitasi kandang pedet yang buruk, adalah penyebab utamanya. Pedet adalah investasi karena keuntungan para peternak kebanyakan hanya berasal dari penjualan pedet.
Ada beberapa langkah untuk mengatasi diare pada pedet yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Ì Memperbaiki cairan tubuh pedet. Yaitu dengan memberikan cairan elektrolit/oralit dan susu secara bergantian. Dan juga mengurangi konsumsi susu karena susu bisa menstimulasi banteri ikutan.
Ì Memberikan antibiotik karena 80% diare disebabkan karena infeksi bakteri, kemudian menambahkan Vitamin C sebagai antistress. Jika pedet tidak mau makan, maka harus ditambah multivitamin dan antipiretik jika suhu badannya lebih dari 39,5 celsius.
Ì Memperbaiki kondisi kandang menjadi bersih dan kering karena kandang yang buruk sanitasi berpeluang memperparah infeksi.
Ì Segera pisahkan pedet yang terjangkit dengan pedet yang lain untuk mencegah penularan.
Ì Mengamati setiap saat kondisinya untuk memastikan pedet tetap aktif.
2. Cacingan
Menurut Tuimin 2009, Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga menyatakan, Toxocara vitulorum, merupakan cacing askarid. Stadium dewasanya banyak dijumpai pada anak sapi (pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian.
Upaya pengendaliannya menurut mereka sampai saat ini belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya informasi tentang keadaan toxocariasis pada pedet. Tersedianya obat cacing, umumnya hanya berkhasiat terhadap stadium dewasa, kurang berkhasiat untuk stadium larva dan telur.
Hal ini karena ternak sapi sewaktu-waktu dapat dijual bila diperlukan. Kepemilikan ternak sapi selain menghasilkan daging juga pupuk, serta kulit dan tulangnya mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam bidang industri dan kerajinan.
Walaupun demikian penyakit parasit cacing khususnya cacing saluran pencernaan pernah dilaporkan Disnak Jatim. Menurut Simon dan Syahrial serta Gunawan dan Putra penyakit yang sering dijumpai pada pedet adalah gangguan parasit usus.
Salah satu jenis parasit usus yang sering dilaporkan menyerang pedet muda adalah toxocariasis. Parasit cacing ini menimbulkan kerugian yang cukup besar, bahkan dapat mengakibatkan kematian pada pedet. Toxocariasis merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara tropik dengan kelembaban tinggi.
Pemeliharaan Pedet (lahir – 8 bulan)
a. Pedet Sesudah Lahir
Ø Membersihkan lendir yang ada pada mulut dan seluruh tubuh.
Ø Memotong tali pusar, dipotong ± 10 cm dan diolesi mercurochrom atau yodium, sulfa powder, anti biotik untuk mencegah infeksi.
Ø Diusahakan pedet memperoleh colustrum pada induknya apabila induk mati bisa diberikan colustrum buatan. Colustrum ialah produksi susu 5-7 hari pertama pada ternak yang baru melahirkan.
Colustrum Sangat Penting Bagi Pedet Karena :
ü Mengandung banyak protein dan vitamin A, B serta C yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kesehatan pedet.
ü Mengandung anti bodi untuk mencegah adanya infeksi
ü Bekerja sebagai laxantia yang membantu pencernaan dan meconium.
b. Pedet Lepas Sapih
· Pemberian susu pada pedet sampai berumur 2½ - 3 bulan setelah itu pedet disapih.
· Dehorning (pemotongan tanduk)
Tujuan dari penghilangan tanduk ini adalah :
· Untuk menghindarkan bahaya penandukan
· Menghindarkan kerusakan kulit
· Menghemat ruangan
F. Sapi Dara
Mulai umur 3 bulan pedet sudah dapat dikategorikan sebagi sapi perah dara dan sudah dapat dikeluarkan dari kandang untuk melakukan gerakan badan di tempat yang terlindung. Sapi dara yang tidak diberi kesempatan melakukan gerak badan akan mengalami pertumbuhan yang terhambat dan kelemahan pada badan dan bagian kakinya mengingat hewan ini sejak kecil selalu terkurung bahkan terikat di dalam kandang pedet. Setelah berumur 3 bulan sapi dara sebaiknya ditempatkan di dalam kandang kelompok yang berjumlah anrtara 3-4 ekor, dengan jenis kelamin, umur dan berat badan yang seragam (Soetarno, 2003).
Pedet sapi perah umumnya sudah mulai disapih pada umur 3 bulan. Meski adakalanya dijumpai penyapihan yang dilakukan pada umur yang lebih atau kurang dari 3 bulan. Apabila dilakukan penyapihan dini pedet harus dalam kondisi sehat dan sudah mengkonsumsi konsentrat formula pedet (calf starter) sebanyak 0,5 kg/hari atau lebih. Pedet yang sudah mengkonsumsi konsentrat berkualitas tinggi dan disapih secara dini, akan mengalami masa transisi menjadi hewan ruminansia sejati yang lebih cepat. Pedet betina sapi perah setelah disapih sampai dengan bunting dan melahirkan anak pertama disebut sebagai sapi perah dara (heifers) (Sotarno, 2003).
Bahan makanan harus menyediakan zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk membangun dan menggantikan bagian-bagian tubuh dan menghasilkan produk seperti susu, telur, dan woll (Anggorodi, 1994). Didalam memilih bahan baku pakan untuk menyusun ransum harus diperhatikan faktor-faktor seperti palatabilitas, nilai gizi, mudah diperoleh, tersedia sepanjang waktu, harga murah dan tidak mengandung racun (Chuzaemi dan hartutik, 1988).
Pemeliharaan Sapi Dara (Heifer) 9 bulan – beranak pertama
1. Pemberian ransum pada sapi perah dara harus selalu diawasi agar jangan sampai kegemukan atau mengalami pertumbuhan yang terlambat
2. Pembesaran dara untuk dijadikan induk mempunyai dua tujuan :
a. Pengganti Induk
Sapi perah induk mesti ada yang dikeluarkan dengan alasan sapi yang berproduksi susu rendah, mengidap penyakit tertentu, sudah berumur tua sehingga produksi turun dan alasan lain.
Sapi perah induk mesti ada yang dikeluarkan dengan alasan sapi yang berproduksi susu rendah, mengidap penyakit tertentu, sudah berumur tua sehingga produksi turun dan alasan lain.
b. Pengembangan Usaha
Pengembangan usaha dengan jalan menambah jumlah populasi dapat ditempuh dengan 2 cara :
Pengembangan usaha dengan jalan menambah jumlah populasi dapat ditempuh dengan 2 cara :
· Membesarkan sapi dara yang berasal dari sapi perah sendiri.
· Membeli bibit siap perah dari luar
Kriteria Sapi Dara yang digunakan sebagai Calon Induk adalah :
Ø Berasal dari turunan yang mempunyai kemampuan produksi tinggi
Ø Menunjukkan pertumbuhan yang baik dan normal
Ø Tidak mempunyai cacat tubuh dan tidak mengidap penyakit apapun
Sapi dara dikawinkan umur 14 – 17 bulan sehingga diharapkan dapat beranak dan memproduksi susu pada umur 23 – 26 bulan. Lama bunting sapi rata-rata 280 hari. Sapi dewasa yang baru beranak dikawinkan kembali sesudah 60-90 hari agar jaringan alat reproduksi yang rusak akibat melahirkan telah pulih kembali.
Kekurangan pemeliharaan atau perawatan di masa-masa pertumbuhan akan mengakibatkan:
ü Sapi sulit bunting bila dikawinkan
ü Sering terjadi kesulitan dalam melahirkan (distochia)
ü Pedet yang dilahirkan kecil dan lemah
ü Produksi air susu sedikit
DAFTAR PUSTAKA
Langganan:
Postingan (Atom)